Kamis, 07 Juli 2011

Matinya Hukum di Negara Demokrasi

7/07/2011 10:28:00 AM | Posted by islamedia
Islamedia - Mahalnya biaya hidup di Indonesia tidak sebanding dengan luasnya lapangan pekerjaan. Sampai sekarang terbukti masih banyak rakyat Indonesia menjadi pengangguran. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan , bahkan untuk berjuang mencari sesuap nasi saja sulit. Tidak heran, akibat sulitnya mencari kerja banyak yang berpikir hijrah ke negeri orang.

Dari berbagai pilihan hijrah memperbaiki nasib, salah satunya adalah menjadi TKI. Selain bisa menjamin perbaikan kesejahteraan, banyak pengalaman hidup dapat diperoleh di negeri orang. Kondisi ini menjadikan bisnis ketenagakerjaan sulit dilepaskan dari TKI. Repotnya, pemerintah tidak mencari solusi membuat lapangan pekerjaan agar dapat mengurangi pengangguran. Sebaliknya pemerintah justru membuat solusi instan memfasilitasi manusia Indonesia yang berminat menjadi Tenaga Kerja di negeri orang.

Tak usah jauh beretorika untuk membuktikan teori itu. Pada sidang ILO, presiden SBY meluncurkan pidato penuh kebanggaan. Subtansi pidatonya adalah kebanggaan Indonesia sebagai negara pengekspor TKI. Tak ketinggalan SBY menegaskan akan memberikan perlindungan terbaik untuk para buruh migran. Pidato ditutup ucapan terima kasih kepada negara “tuan” yang selama ini bersedia menerima “buruh” Indonesia. Para hadirin memberikan tepuk tangan meriah dan standing applause.

Ironisnya, empat hari kemudian terdapat berita menyedihkan. Ruyati, salah seorang TKW Indonesia dipancung pemerintah Arab Saudi. Dirinya dituduh telah membunuh majikannya sehingga mendapat hukuman pancung. Jadilah bertambah banyak buruh Indonesia yang gagal mendapatkan perlindungan layak seperti janji manis Presiden.

Kematian Ruyati menguras emosi publik, siraman pujian kepada Presiden secepat kilat berganti banjir hujatan. Negara dianggap gagal memberikan perlindungan aman bagi warga negaranya. SBY secara jelas melanggar konstitusi yang mengamanatkan “ ….melindungi segenap bangsa Indonesia” Wajar akhirnya lahir sebuah sikap pesimistik, “ negara sudah gagal”


Suka Nazarudin, Duka Ruyati

Saat rakyat Indonesia sibuk mempersoalkan kematian Ruyati, seorang tokoh partai penguasa sibuk berlibur ke Singapura. Statusnya bukan wisatawan, tapi sebagai koruptor kelas kakapa. Dirinya berusaha melarikan diri dari kejaran KPK pasca tersangkut kasus korupsi dana SEA Games. Gonjang – ganjing politik dalam negeri sejenak terlupakan, berganti ratusan protes atas kepergian pahlawan devisa.

Ruyati, sang pahlawan devisa itu akhirnya pergi meninggalkan nasib tragis. Dirinya dilupakan dari peran aktif negara melindungi nyawa seorang rakyat Indonesia. Ironisnya, perlakukan berbeda diterima Nazaruddin yang terjerat kasus korupsi. Sampai sekarang, KPK masih mandul bersikap terhadap kasus korupsi salah satu elit Demokrat ini.

Menjadi pertanyaan fundamental, mengapa negara berlepas tangan. Presiden SBY sibuk menurunkan kekuatan penuh menutup kasus Nazarudin. Tapi, meninggalnya Ruyati presiden lambat bersikap dan mengeluarkan jurus politik kemayu. Jurus mengelak bahwa Indonesia tidak mendapat kabar atas jadwal hukuman mati Ruyati.

Sepantasnya, rakyat marah mendengar jawaban pemerintah Indonesia. Janji memberikan perlindungan terhadap buruh migran dan Indonesia bebas korupsi dilanggarnya. Tidak hanya itu. SBY dan KPK khususnya dianggap bersikap lembek kepada koruptor yang melarikan diri ke negara tetangga.

Sudah sepantasnya, jika serius membenahi persoalan korupsi KPK wajib memulangkan Nazaruddin. Tidak sebaliknya, KPK dipermalukan permintaan Nazaruddin untuk memeriksanya di Singapura. SBY juga harus berani mengeluarkan “fatwa” kepada elit demokrat, menjemput paksa Nazaruddin. Kepulangan dan pemeriksaan Nazaruddin di Indonesia dapat menjadi indikator sejauhmana keseriusan pemerintah memberantas korupsi.

Perlakuan diskriminatif pemerintah wajar mengundang kecurigaan publik. Timbul dua pertanyaan, pertama apakah kasus Ruyati menjadi bagian mengalihkan isu Nazaruddin. Kedua, apakah kepengecutan KPK membongkar kasus Nazaruddin akibat intervensi SBY. Kedua pertanyaan itu dapat dijawab dengan selesainya kasus Nazaruddin.

Apalagi, belakangan KPK akhirnya menetapkan tersangka korupsi dana SEA Games itu sebagai tersangka. Satu titik terang terbuka, tinggal publik menunggu keberanian KPK mengembalikan Nazaruddin untuk diperiksa di Tanah Air. Jika KPK gagal, bersiaplah menurun legitimasi dan kredibilitasnya untuk memberantas korupsi di Indonesia.

Rasanya perlu ditegaskan tugas besar KPK sejak awal terbentuk adalah untuk memberantas koruptor. Terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan elit negeri ini sudah membuat nama KPK harum. Jangan sampai akibat tekanan SBY, KPK lemah bersikap mengungkap kebobrokan dana SEA Games sehingga merusak reputasi baik KPK.

Negara Pro Rakyat

SBY sudah saatnya menghentikan kebiasaan buruk politik citra. Rakyat sudah malu mendengar kelemahan kinerja tanpa perbaikan nyata. Lebih jauh, rakyat menanti karya nyata presiden setidaknya dalam tiga aspek. Ketiganya penting agar negara semakin pro rakyat dan menimbulkan kepercayaan rakyat terhadap kerja besar pemerintah.

Pertama, aspek ekonomi berupa menciptakan lapangan pekerjaan. Timbulnya kasus korupsi dan pilihan menjadi TKI terjadi akibat sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia. Elit politik terlalu sibuk memikirkan dirinya, melupakan janji menyejahterakan rakyatnya. Mereka seperti tidak pernah puas mengumpulkan kekayaan yang seharusnya menjadi milik rakyat.

Penciptaan lapangan kerja, mendorong tumbuhnya pengusaha dan melepaskan rakyat dari jeratan krisis ekonomi adalah tugas strategis negara. Semakin cepat negara merealisasikan tugas besar ini, semakin cepat Indonesia menuju kesejahteraan lebih baik. Sebab persoalan citra hanya menguras energI. Rakyat lebih percaya, bukti konkret yang dapat dirasakan sampai kalangan terbawah.

Kedua, penegakan hukum tanpa pandang bulu. Semakin cepat KPK memulangkan Nazaruddin, semakin cepat penyelesaian kasus ini. Sehingga rakyat percaya perkataan “ hukum adalah panglima “ tidak sekedar retoris.

Selain itu, semakin cepatnya kasus Nazaruddin selesai berpotensi menimbulkan kepercayaan rakyat bahwa hukum tidak tebang pilih. Popularitas SBY memungkinkan bergerak lebih baik, sebab rakyat akan menilai SBY tidak melindungi orang terdekatnya.

Ketiga, pembenahan ketenagakerjaan Indonesia. Sudah seharusnya pemerintah memikirkan perubahan paradigma. Tidak lagi berpikir, menciptakan buruh tapi menghasilkan pengusaha. Sekalipun ada buruh, mulailah membentuk buruh kreatif, cerdas dan kompeten agar tidak menjadi korban penyiksaan di negeri orang.

Membaca Harapan Perbaikan

Persoalan Indonesia sudah sangat kompleks dan kronis. Merespons itu, rakyat menunggu niat baik pemerintah mengurusi negara. Jangan sampai tunggu kekecewaan semakin memuncak, baru negara mengambil tindakan.

Akhirnya kita berharap kasus Ruyati menjadi kasus terakhir meninggalnya buruh migrant. Rakyat juga belum berhenti harapan agar KPK memulangkan dan memeriksa Nazaruddin. Semoga harapan terus tumbuh, tidak mati bersama kegagalan negara.

Inggar Saputra
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan Analis Institute for Sustainable Reform (Insure)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar