OPINI | 28 June 2011 | 12:5545
---------------------------------------
Oleh: Aziz Abdul Ngashim
jika akhir-akhir ini anda seorang tweps dan termasuk penggemar cerpen kompas, terutama folowwer fajar arcana mungkin anda tahu kabar sebaran undangan untuk datang ke acara pemilihan cerpen terbaik kompas 2011. atau mungkin anda adalah salah satu dari yang beruntung untuk hadir pada acara senin malam tanggal 27 juni 2011 saat menyaksikan Rikard Bagun (pimpinan redaktur kompas) menyerahkan buku “kumpulan cerpen kompas 2011″ sebagai tanda “peresmian” kepada Seno Gumira Ajidarma sang jawara cerpen pilihan kompas 2011 dengan judul Dodolidodolibret . seremonila di bentara budaya jakarta itu akhirnya menasbihkan 18 cerpen terpilih berhak dibukukan sebagai kitab ke-20 cerpen pilihan kompas, menyingkirkan 52 karya yang dimuat kompas minggu dalam 1 tahun, dan bahkan menyingkirkan sekitar 3.600 cerpen yang berakhir di meja redaksi kompas dalam kurun waktu 12 bulan.
menurut fajar,sembilan hingga sepuluh cerpen diterimanya setiap hari. Dalam setahun, ada sekitar 3.600 cerpen. Sebuah angka yang fantastis. namun anda jangan kaget karena menurut catatan alex supartono, redaktur koran tertentu tak kurang menerima 3-40 cerpen perminggu, bahkan ada satu koran kedatangan 60-100 cerpen per minggunya. dan diperkirakan setiap tahun 6000 naskah cerpen berkahir di tempat sampah pada kantor redaksi koran-koran yang dianggap barometer perkembangan sastra cerpen indonesia. sungguh sebuah ironi dalam paradoks perkembangan sastra indonesia. ini belum termasuk ratusan hingga ribuan cerpen lain di koran-koran lokal, mungkin jika dilakukan penelitian angka-angka itu akan sangat mencengangkan.
sebagian mengatakan cerpen masuk koran selain untuk “nama” juga cari uang. khusus untuk para pencari nama anggapan ini buat saya meleset, lihatlah daftar cerpen pilihan kompas 2011 yang masih di dominasi nama-nama lama yang sudah punya gaung dalam perkembangan sastra indonesia. sehingga muncul selentingan miring bahwa supaya cerpen anda dimuat di surat kabar terutama yang nasional dan sudah punya nama besar ada tiga cara, pertama cerpen anda benar-benar berkualitas dan sesuai selera redaktur, kedua walaupun cerpen tidak terlalu bagus dan tidak sesuai selera redaktur, minimal nama anda sudah terkenal di dunia kepenulisan dan bisa jadi jaminan, ketiga ini yang agak kurang baik, yaitu memanfaatkan hubungan baik dengan redaktur alias PDKT, ini yang ketiga agak kurang baik.
kembali ke cerpen pilihan kompas, sebagai sebuah media nasional yang besar, kompas sudah memiliki reputasi besar dibidang jurnalisme dikalangan pembaca koran terutama di indonesia. latar belakang dan “kebesaran” nama kompas ini yang membuat sebagian orang tidak ragu dengan hal-hal bawaan kompas seperti kompas.com, kompasiana, hingga termasuk didalamnya cerpen yang tiap minggu mengisi lembaran khusus di hari bertanggal merah tersebut. walaupun sesungguhnya dalam pandangan saya latar belakang jurnalisme mumupuni yang ternama dalam diri kompas bisa mempengaruhi bahwa cerpen pilihan kompas merupakan deretan terbaik sehingga mendistorsi cerpen-cerpen lain. namun bisa disimpulkan bahwa deretan naskah dalam kumpulan cerpen kompas dalam 20 tahun terakhir ini adalah yang terbaik yang pihak kompas pilih.
mythonomia kumpulan cerpen kompas, seharusnya tidak dipandang sebagai kumpulan terbaik dari yang terbaik di indonesia tapi terbaik dalam subjektifitas “juri” kompas itu sendiri, dan tentu saja tak lepas dari nama-nama besar yang megiringi kebanyakan nama yang termaktub dalam kitab cerpen ini setiap tahunnya. boleh saja mengatakan bahwa cerpen pilihan kompas adalah terbaik, namun harus diingat bahwa mitos terbaik dari kompas sesungguhnya harus kita reduksi sebagai bagian dari perkembangan dunia sastra terutama cerpen.
mitos-mitos ini bukan tanpa alasan, karena secara tidak langsung mythonomia ini sengaja diciptakan, terlihat dari buku-buku kumpulan cerpen kompas hingga pernyataan beberpa sastrawan, seperti kata-kata nirwan dewanto dalam cerpen pilihan kompas 1993, “harus kita akui bahwa cerpen-cerpen terbaik indonesia dalam lima tahun terakhir ini muncul di kompas dan matra, bukan di (majalah sastra) horison. sunggu mengagetkan, begitu kita menyadari tiba-tiba, bahwa ‘kesehatan’ sastra kita tergantung pada redaktur cerpen itu”. saya tidak sedang mau melawan atau dalam posisi yang berhadapan dengan kritikus senior yang sudah punya nama macam nirwan dewanto, tapi saya berada dalam posisi besebrangan dengan pendapatnya.
seolah mitor-mitos itu sudah dibaptis sejak tahun 1993 sehingga setiap tahunnya menunggu cerpen pilihan kompas seperti menunggu kelahiran “anak dewa” yang membuat orang berdebar-debar siapa mereka yang terbaik di tahun ini. pernyataan tersebut seperti di amiin-i oleh binhad nurohmat, menurut binhad ada dua mainstrem (tradisi cerpen koran) dari tradisi sub-genre cerpen indonesia, yaitu tradisi “cerpen koran” republika dan kompas yang sosial-realis (dengan tokoh seno gumira ajidarma, joni aridinata dan agus noor sebagi tokoh dan tonggaknya) serta tradisi media indonesia dan tempo yang alternatif dalam keliaran gagasan alternatif dan segi pencitraan dan eksplorasi bahasa cerpen korannya (hudan hidayat dan phutut ea adalah “generasi baru”nya disini).
pernyataan nirwan dan binhad tentu saja seperti generalisasi otoriter terhadap perkembangan cerpen-cerpen dalam sastra indonesia. tentu saja patut di duga bukan hanya pernyataan beliau berdua saja yang membuat mythonomia “kumpulan cerpen kompas” sehingga menimbulkan canonisasi sastra baik secara langsung maupun tidak langsung serta baik secara sengaja maupun tidak sengaja. canon sastra ini sepertinya telah membuat jarak dan dinding tentang sipa gold, siapa silver dan siapa yang bronze.
dalam dunia kepenulisan dikenal dengan politica litencia atau dalam bahasa sederhana bisa kita tafsirkan yaitu kebebasan menulis atau dalam bahasa lebih luas, setiap orang punya ciri dan gaya khas dalam proses kepenulisan dan menciptakan tulisan. dan dalam dunia kepengarangan beberapa pengarang sangat yakin akan “substansi” sastra, yang konon universal dan apolitis (bebas-nilai) serta abdai. namun penilaian dalam kepengarangan juga ditentukan oleh apa yang dinamakan subjektifitas tanpa kriteria, hingga nilai kepengarangan dan sastra dinilai dari publikasi dan kritisasi media. hingga memiliki daya publikasi lebih besar. sehingga nilai sastra terreduksi seperti prinsip ekonomi, bukan soal rasa tapi soal promosi, dan promosi yang diciptakan oleh media memiliki pasar lebih besar, inilah yang secara tidak langsung menimbulkan trah dalam dunia kepenulisan.
trah adalah tingkatan, atau lebih dikenal dengan canon, canon berasal dari bahasa yunani kuno yang berarti buluh atau tongkat, yang berguna sebagai alat pengukur. dan dalam tahap selanjutnya memiliki tambahan “peraturan” dan “hukum”. sehingga dikemudian hari istilah canon memiliki arti sleksi untuk memilih pengarang yang karyanya pantas untuk diabadikan. dan dalam hal ini cerpen pilihan kompas telah menjadi mythonomia tersendiri dalam canon sastra di indonesia.
bila kita melihat lebih jauh kebelakang jauh sebelum cerpen pilihan kompas muncul 2 dekade lampau, pertanyaan besar muncul kenapa nama-nama kaliber maxim gorky, james joyce, virginia wolf, george orwel, paul eluard, jose luis borges hingga pramodya ananta toer tidak berhasil mendapatkan nobel di bidang sastra? maka jawabannya muncul dari jean paul srtre pada tahun 1964, nobel yang diberikan padanya dia tolak, karena dia merasa pablo neruda dari chili dianggap lebih pantas. benar saja anggapan bahwa pemenang nobel adalah orang liberal dan anti komunis bisa danggap benar, karena pablo neruda yang harusnya menjadi pemegang nobel sastra 1964 akhirnya dikalahkan karena dia anggota partai komunis chile.
maka kemudian akan muncul pertanyaan kenapa presiden penyair indonesia itu sutardji zoluzum bachri dengn “mantra”nya bukan w.s rendra dengan “blues untuk bonie”nya dan kenapa sang penyair romantis itu sapardi djoko damono bukan umbu landu paringgi? hingga pertanyaan kenapa cerita silat kho ping ho yang legendaris tidak ada di deretan rak-rak buku sekolah?
memang dalam konteks sastra indonesia yang berbudaya “timur” seorang pembaca belum bisa memisahkan antara penulis dan tulisan, sehingga tidak bisa dipaksa untuk semata-mata membaca teks dan konteks tanpa mempertanyakan siapa pengarangnya. maka anggapan yang timbul dari cerpen pilihan kompas tidak hanya sebuah usaha untuk memajukan perkembangan sastra nusantara tapi juga mythonomia bahwa kumpulan cerpen kompas jalan menuju kanonisasi sastra bisa saja di-iya-kan.
dapat dimaklumi dalam proses filterisasi sangat sulit menemukan mekanisme penjurian yang benar-benar meminimalisir unsur-unsur subjektifitas “selera sastra” masing-masing juri. karena rambu-rambu dalam penjurian sangat sulit digaris bawahi, maka akhirnya proses “penjurian” cerpen pilihan kompas bisa ditafsirkan “tanpa kriteria” seperti yang dituliskan dalam prakatan cerpen pilihan kompas 1993: “kami percaya bahwa setiap manusia memiliki sejenis estetika yang entah diperolehnya darimana, karena itu kami tidak menganut satu jenis estetika tertentu, tapi membenturkan estetika-estetika yang ada pada masing-masing penyeleksi”.
lepas dari itu nama-nama yang terukir dalam cerpen pilihan kompas setiap tahunnya yang kebanyakan nama-nama senior dan orang-orang lama, kita bisa baca cerpen-cerpen itu memang memiliki nilai tersendiri, dan saya ucapakan selamat kepada 18 nama penulis yang diabadikan di tahun ini. utamanya kepada beberapa kompasianer yang masuk dalam B-18 di tahun 2011 ini. inilah mereka,
Ke-18 cerpen terbaik itu adalah: 1. Pengunyah Sirih karya S Prasetyo 2. Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap karangan Timbul Nadeak 3. Ada Yang Menangis Sepanjang Hari, karya Agus Noor 4. Kue Gemblong Mak Saniah, karya Aba Mardjani 5. Menjaga Perut, karya Adek Alwi 6. Di Kaki Hariara Dua Tahun Kemudian, karya Martin Aleida 7. Sepasang Mata Dinaya Yang Terpenjara karya Ni Komang Ariani 8. Klown Dengan Lelak Berkaki Satu, karya cerpenis Ratna Indraswari Ibrahim 9. Solilokui Bunga Kembajo, karya Cicilia Oday 10. Sonya Rury, karya Indra Tranggono 11. Tukang Obat Itu Mencuri Hikayatku, karya Herman RN 12. Ordil Jadi Gancan, karya Gde Aryantha Soethama 13.Rongga karya Noviana Kusumawardhani 14. Dodolitdodolitdodolibret karya Seno Gumira Ajidarma 15.Lebih Kuat Dari Mati, karya Mardi Luhung 16. Ikan Terbang Kufah karya Triyanto Triwikromo 17.Sirajatunda, karya Nukila Amal 18. Terakhir cerpen karya Budi Darma berjudul Pohon Jejawi.
cetak tebal : kompasianer
sekali lagi selamat kepada ke-18 penulis, semoga karya-karya beliau-beliau ini menjadi pelecut anak-anak muda indonesia untuk terus berkarya, dan suatu saat nanti mengantika mereka yng sudah senior dengan kualitas lebih baik, dan semoga usaha kompas untuk berperan menjadi bagian dari perkembangan demi kemajuan sastra indonesia tak berhenti hanya sebatas penerbitan kumpulan cerpen pilihan kompas saja.
Diambil dari: http://media.kompasiana.com/buku/2011/06/28/canon-sastra-dalam-mythonomia-kumpulan-cerpen-kompas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar