Senin, 27 Juni 2011

Mengingat Kematian



Kematian adalah sesuatu yang pasti akan menimpa pada setiap manusia. Hanya saja kita tidak tahu kapan dan bagai mana kematian itu datang menjemput kita. Membicarakan kematian bukanlah sesuatu yang meyenangkan, bahkan kita sebagai mausia ingin hidup lebih lama. Allah SWT menggambarkan dalam Al quran surat al-Baqarah ayat 96 yang artinya :

“Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Dan Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan.”


Banyak faktor yang menyebabkan orang takut mati dan ingi hidup lebih lama sesuai keinginannya. Ada orang yang takut mati karena takut kehilangan apa yang dimilikinya di dunia ini. Ada juga yang takut mati karena merasa banyak dosa dan ada pula yang merasa belum memiliki bekal untuk menghadapi hari pembalasan.
Islam sebagai agama yang hanif menuntun umatnya agar meyakini bahwa ada kehidupan sesudah kematian.

Kematian adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih hakiki. Kehidupan di dunia yang dijalani setiap manusia adalah sementara. Dan dunia adalah tempat untuk kita menanam benih-benih kebaikan sebanyak-banyaknya sehingga hasilnya dapat kita panen setelah melewati gerbang kematian. Allah SWT mengarahkan kita bahwa Akhirat itu lebih baik dari pada dunia.

Dalam hal mengingat kematian, Imam Al-Ghazali membagi manusia dalam tiga kelompok atau tiga tingkatan.
Pertama, Al-Munhamik, yaitu orang yang tenggelam dalam tipu daya hawa nafsu dunia. Ia merasa bahwa kehidupannya di dunia adalah abadi sehingga timbul penyakit hubuddunya (cinta dunia). Ia enggan kalau diingatkan akan kematian. Kelompok orang seperti ini jauh dari Allah SWT dan sangat kurang mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian, bahkan yang terjadi justru sebalaiknya yaitu bergelimang dosa dan maksiat. Na’udzubillahimindzalik.

Kedua, At-Taib, yaitu orang yang senantiasa bertobat memohon ampunan dari Allah SWT. Ia banyak mengingat kematian yang mendorongnya beramal dan mempersiapkan bekal dengan amal-amal shaleh yang terbaik untuk menghadapi kematian. Kalualah ia takut atau tidak menyukai kematian bukan karena ingkar akan tetapi karena khawatir bekal yang dipersiapkannya belum cukup.

Ketiga, Al-A’rif, yaitu orang yang mengetahui posisi dirinya dihadapan Allah SWT. Ia senantiasa mengingat kematian, bahkan ia selalu menanti saat kematian itu datang menjempunya. Karena bagi dia kematian adalah momentum perjumpaan dirinya dengan Sang khaliq, Allah SWT, dzat yang selama ini ia dicintai dan dirindukannya. Kelompok orang semacam memiliki bekal penuh dalam mengahadapi kehidupan setelah kematian.

Akhirnya semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian dengan amal-amal shaleh yang terbaik. Setiap detik, setiap menit, setiap jam dan setiap hari kita lewati dengan perbuatan terbaik di sisi Allah SWT. Allah SWT mencipatakan kematian dan kehidupan tiada lain untuk menguji kita semua siapa diantara kita yang amal-amalnya terbaik, (Qs. Al Mulk ayat 2). Dan semoga kita mati dalam keadaan husnul khotimah.


Terakhir saya kutifkan sebuah kisah klasik dari Imam Al Ghazali. Suatu ketika ada seseorang yang sudah bertahun-tahun menjadi muadzin di sebuah menara tinggi di samping mesjid. Kebetulan di samping mesjid itu ada pula sebuah rumah yang ternyata dihuni oleh keluarga non-muslim, di antara anak-anak keluarga itu ada seorang anak perempuan berparas cantik yang sedang berangkat remaja. Tiap naik menara untuk adzan, secara tidak disengaja tatapan mata sang muadzin selalu tertumbuk pada si anak gadis ini, begitu pula ketika turun dari menara. Seperti pepatah mengatakan "dari mata rurun ke hati" begitulah saking seringnya memandang. Hati sang muadzin pun mulai terpaut akan paras cantik anak gadis ini. Bahkan saat adzan yang diucapkan di mulut Allahuakbar-Allahuakbar, tapi hatinya malah khusyu memikirkan anak gadis itu.

Karena sudah tidak tahan lagi, maka sang muadzin ini pun nekad mendatangi rumah si anak gadis tersebut dengan tujuan untuk melamarnya. Hanya sayang, orang tua si anak gadis menolak dengan mentah-mentah, apalagi jika anaknya harus pindah keyakinan karena mengikuti agama calon suaminya, sang muadzin yang beragama Islam itu. "Selama engkau masih memeluk Islam sebagai agamamu, tidak akan pernah aku ijinkan anakku menjadi istrimu" ujar si Bapak, seolah-olah memberi syarat agar sang muadzin ini mau masuk agama keluarganya terlebih dulu.

Berpikir keraslah sang muadzin ini, hanya sayang, saking ngebetnya pada gadis ini, pikirannya seakan sudah tidak mampu lagi berpikir jernih. Hingga akhirnya di hatinya terbersit suatu niat, "Ya ALLAH saya ini telah bertahun-tahun adzan untuk mengingatkan dan mengajak manusia menyembah-Mu. Aku yakin Engkau telah menyaksikan itu dan telah pula memberikan balasan pahala yang setimpal. Tetapi saat ini aku mohon beberapa saat saja ya ALLAH, aku akan berpura-pura masuk agama keluarga si anak gadis ini, setelah menikahinya aku berjanji akan kembali masuk Islam."

Baru saja dalam hatinya terbersit niat seperti itu, dia terpeleset jatuh dari tangga menara mesjid yang cukup tinggi itu. Akhirnya sang muadzin pun meninggal dalam keadaan murtad dan suul khatimah.


2 komentar:

  1. Satu lagi artikel Kang Iban yang saya geret ke sini ^_^
    ayo, artikel siapa lagi selanjutnya?

    BalasHapus
  2. Terimakasih.
    Artikel karya imam ghazali yang lain dong.

    BalasHapus