Senin, 25 Juli 2011 , 16:54:00 WIB
SUNGGUH mengejutkan membaca laporan sebuah koran nasional. Diberitakan, Kementerian Hukum dan HAM terpaksa membatalkan sekitar 400 peraturan daerah (Perda). Produk konstitusi sinergitas DPRD dan Pemerintah Daerah itu dipangkas habis. Sebab, banyak perda bertabrakan dengan konstitusi tertinggi yaitu UUD 1945. Tidak kalah memprihatinkan membaca data Kementerian Dalam Negeri. Saat ini, ada sekitar 175 perda yang diminta untuk dibatalkan pada semester 1 tahun 2011. Tahun sebelumnya, 407 perda resmi dibatalkan. Sungguh ironis, sebab ini menandakan adanya kekacauan legislator dan eksekutif merumuskan sebuah kebijakan pro rakyat.
Hemat penulis, angka statistik dua kementerian menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, Indonesia sedang dilanda krisis legislasi sebab banyak kebijakan kontraproduktif. Di tengah ruwetnya problematika bangsa, para “orang pintar” parlemen dan pemerintahan masih malas menghasilkan kebijakan pro rakyat. Sungguh prihatin, sebab mereka dipilih rakyat tapi mengabaikan amanah itu.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebenarnya sudah dijelaskan tugas parlemen. Salah satunya adalah bersama eksekutif menghasilkan undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat. Tapi herannya, mereka sibuk menghasilkan produk legislasi yang justru merobek hati rakyat. Dalam beberapa kasus perda yang dihasilkan cenderung melegalkan kepentingan pengusaha dan pemodal asing.
Kedua, gejala pembatalan perda menjadi bukti jelas lemahnya kapasitas pemerintah daerah dan DPRD. Kegagalan menghasilkan undang-undang semakin menjelaskan kualitas anggota parlemen hasil Pemilihan Umum 2009. Tidak heran masyarakat menilai pemilu hanya ajang politik uang, bukan penghasil anggota parlemen berkualitas. Menyedihkan, sebab jika dibiarkan kepercayaan rakyat akan terus menurun.
Para anggota DPRD memang tak harus menguasai semua subtansi persoalan sebuah perda. Tapi mereka harus menggunakan logika dan berpikir strategis. Sebab anggota dewan dilengkapi perangkat staf ahli dan masa reses untuk menyerap aspirasi rakyat. Bukan sibuk mIroembahas persoalan teknis seperti titik dan koma sehingga kerja legislasi lebih efektif.
Gejala pembatalan perda juga dipengaruhi akibat kebiasaan mempolitisasi perda. Sehingga perumus kebijakan tidak lagi memikirkan kebermanfaatan masyarakat. Kesadaran makin menipis akibat masing-masing partai memainkan otoritasnya. Perbedaan kepentingan antar partai menghasilkan fragmatisme. Hasil akhirnya dapat ditebak, produk yang dihasilkan hanya memikirkan kepentingan partai dan menguntungkan dirinya. Borjuasi politik terjadi, rakyat pun gigit jari.
Kedua, perda lebih sering dibisniskan. Banyak terjadi, perda hanya menguntungkan pemodal besar. Perda rokok misalnya, gagal berjalan efektif sebab “dirampok” kepentingan bisnis pengusaha rokok. Jadilah perda tak ubahnya pasal karet hasil kombinasi dan negoisasi antar berbagai kepentingan politik sehingga wajar akhirnya banyak “kecelakaan” tabrakan dengan UUD 1945.
Mengutip Refly Harun, kesalahan orientasi akibat faktor kesalahan cara pandang. Dalam sebuah perda, banyak anggota dewan malas membahas legislasi karena lebih berat kerjanya. Mereka lebih banyak tertarik fungsi budgeting dan pengawasan, karena bisa memainkan proyek pemerintah. Ini berdampak orientasinya bukan hasil tapi lebih pada tersedotnya anggaran dan fasilitas.
Sebaiknya parlemen berfokus membahas persoalan strategis sehingga menghasilkan perda berkualitas. Jangan demi kepentingan pribadi dan partainya, kepentingan rakyat terabaikan. Sebab politisasi undang-undang akan Irnomemperburuk citra dan melukai hati pemilihnya. Sudah waktunya, anggota DPR dan pemerintah menghasilkan undang-undang yang dapat dirasakan rakyat hingga level terbawah. Adanya staf ahli DPRD harus menjadi pemicu perbaikan, bukan sebatas menghabiskan anggaran negara.
Kompetensi menjadi indikator utama memilih staf ahli, bukan kedekatan personal saja. Sehingga dapat memperkuat dan menyusun draft perda yang dibekali data, informasi dan logika berdasarkan kebutuhan rakyat. Sehingga kejadian pembatalan perda tidak akan terulang kembali.
Oleh : Inggar Saputra